Rabu, 05 Agustus 2015

MODERNISASI PRAJA MANGKUNEGARAN



Mangkunegaran merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa yang berkembang sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Dalam rangka melanjutkan tradisi pendahulunya, Mangkunegaran tetap memelihara nilai-nilai budaya Jawa warisan Mataram tersebut, tetapi juga melakukan pembaruan sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang berubah.
            Buku karya historiografi ini mengulas mengenai perubahan yang terjadi di Praja Mangkunegaran sejak Mangkunegara VI hingga Mangkunegara VII. Pada periode akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 bagi masyarakat Jawa merupakan masa yang penuh dengan perubahan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, baik dari dalam masyarakat maupun luar masyarakat. Faktor yang dominan mempengaruhi terjadinya perubahan pada waktu itu adalah faktor dari luar yang dinamakan westernisasi (proses masuknya kebudayaan Barat). Proses westernisasi ini sejalan dengan meluasnya kekuasaan Belanda pada pemerintahan yang paling bawah yang mengubah tatanan masyarakat Jawa dalam segala aspek.
Berkenaan dengan perubahan masyarakat Jawa sebagai akibat dari proses westernisasi ini, Burger mengemukakan bahwa proses ini berjalan secara evolutif. Perubahan yang begitu mencolok pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan kelanjutan proses-proses sebelumnya, yaitu proses masuknya kebudayaan Barat dalam masyarakat Jawa yang kemudian menimbulkan perubahan struktur dalam masyarakat ini.
Perembesan kebudayaan Barat kedalam masyarakat Jawa berjalan melalui tiga fase. Fase pertama, merupakan fase kontak antara orang-orang Belanda yang tergabung dalam Persekutuan Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie, disingkat VOC) dan para raja atau sultan yang berlangsung pada abad ke-17. Pada fase ini VOC menjalin hubungan dagang dengan para raja yang berakibat diwajibkannya para penguasa bumiputra di tingkat puncak itu menyerahkan barang-barang dagangan yang laku di pasaran dunia kepada VOC. Sebagai imbalannya, mereka mendapat ganti rugi berupa uang, perhiasan, dan hadiah-hadiah lain. Dalam masa selanjutnya, VOC tidak hanya berhenti pada hubungan dagang dengan para raja itu, tetapi lebih mengarah pada hubungan politik, yakni mencampuri persoalan-persoalan politik dan militer di antara para penguasa bumiputra yang sedang berselisih, yang akhirnya mereka mendapat konsensi-konsensi untuk menguasai daerah-daerah milik para raja itu, terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa telah dikuasai pada pertengahan abad ke-18.
Fase kedua, yakni terjalinnya kontak antara VOC dan penguasa bumiputra yang lebih rendah, yaitu dengan para bupati. Para bupati inilah yang kemudian mendapat kewajiban untuk menyerahkan hasil bumi kepada VOC dan tidak perlu lagi melalui para rajanya. Dalam dua fase ini dapat dikatakan bahwa merembesnya kebudayaan Barat dalam masyarakat Jawa sudah mulai masuk pada lapisan elite tengah masyarakat Jawa.
Fase ketiga, adalah fase merembesnya kebudayaan Barat sampai pada masyarakat Jawa yang kemudian membawa dampak pada perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Fase ini terutama berlangsung pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Hubungan antara orang-orang Belanda dan penduduk bumiputra tidak hanya melalui perantara para kepala desa atau bekelnya. Pada masa itu kesempatan interaksi antara penduduk bumiputra dan orang-orang Barat yang memiliki kebudayaan berbeda semakin terbuka, baik melalui wahana hubungan kerja, pendidikan, keagamaan, birokrasi dan administrasi, dan sebagainya. Pendek kata, kecenderungan masuknya kebudayaan Barat dalam masyarakat Jawa dalam abad terakhir itu lebih intensif dengan abad-abad sebelumnya.
Pemerintahan kerajaan Jawa di Surakarta termasuk Mangkunegaran juga dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk menanggapi zaman baru yang telah mengalami proses modernisasi dan westernisasi itu. Menurut Ricklefs, diantara semua kerajaan, Mangkunegaran-lah yang paling berhasil menyesuaikan diri dengan keadaan baru pada masa kolonial itu. Ia mengatakan bahwa Mangkunegaran merupakan satu-satunya istana yang masih memelihara tradisi militer dari bangsawan Jawa meskipun di bawah kekuasaan Belanda.
Proses modernisasi di Mangkunegaran telah dimulai oleh Mangkunegara IV (1857-1881). Modernisasi diutamakan dalam bidang ekonomi yang ditandai dengan pendirian badan-badan usaha kerajaan seperti pabrik gula, perkebunan kopi, dan sebagainya. Akan tetapi hal itu mengalami kemandekan setelah Mangkunegara V berkuasa (1881-1896) karena terjadi krisis keuangan Praja Mangkunegaran. Ketika Mangkunegara VI memegang pemerintahan (1896-1916), modernisasi itu diperlukan tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi meliputi segala bidang. Penggantinya, Mangkunegara VII (1916-1942) melanjutkan usaha-usaha modernisasi itu hingga membuat Mangkunegaran sebagai kerajaan kecil yang memiliki tradisi yang lain. Meminjam konsep Romein bagi dunia Eropa, Mangkunegaran merupakan sebuah istana yang menyimpang dari pola umum kerajaan-kerajaan tradisional. Berkaitan dengan hal itu, orang yang hidup pada masa itu ada yang menyebutnya sebagai demokratis, sebab Mangkunegaran merupakan satu-satunya keraton yang meniadakan hormat keraton jauh sebelum pemerintah Belanda memulainya.
Rinkes, seorang ahli kebudayaan Jawa yang hidup pada masa pemerintahan Mangkunegara VI dan VII menyatakan bahwa Mangkunegaran merupakan kerajaan yang memiliki sifatnya yang khas Jawa, dalam arti menjunjung tinggi apa yang hidup dalam hati rakyat Jawa, dan menunjukkan jalan bagaimana dapat hidup bersama dengan kemajuan dunia tanpa kehilangan pribadi yang telah dimilikinya. Mangkunegaran telah melakukan modernisasi dengan bertumpu pada akar kebudayaan Jawa dimodifikasi dengan kebudayaan luar, terutama Barat. Melalui modernisasi, Praja Mangkunegaran menjadi makin diakui (legitimate), baik oleh rakyat, pemerintah Belanda, maupun rival politiknya Kasunanan Surakarta. Walaupun Mangkunegaran hanyalah sebuah praja kecil, pamornya telah menyebar ke seluruh Hindia Belanda.
Buku karya Prof. Wasino ini kaya akan arsip sejaman baik kualitatif maupun kuantitatif yang kemudian terangkai dengan seperangkat metodologi sejarah. Terbitnya buku ini sangat layak untuk dibaca terutama mahasiswa dan guru sejarah, politisi, serta siapa saja yang ingin memahami sistem pemerintahan di keraton-keraton Jawa masa lalu, sebagai bahan perbandingan dengan tata pemerintahan Indonesia masa kini.


Sumber Buku : Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944
Pengarang  :    Prof. Dr. Wasino, M.Hum
Penerbit      :    Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Februari 2014, cetakan I
Tebal           :    xii+236 halaman 

by: anugerahekop