Selasa, 17 Desember 2013

Model Desain Pembelajaran ASSURE



Model tidak diberi nama berdasar pengarangnya tetapi berdasar huruf awal langkah-langkah model desain pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh Molenda. Model ASSURE terdiri dari 6 komponen/langkah:
1.      Analisis siswa (Analysis of learner)
Kondisi siswa perlu diketahui di saat akan merencanakan pembelajaran. Aspek yang perlu dianalisis dari sisi siswa meliputi: (a) Karakteristik umum (gender, demografi, status sosial ekonomi); (b) Bekal kompetensi yang telah dimiliki (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap terhadap materi yang akan dipelajari); (c) Gaya belajar (mandiri, tergantung, kompetitif, partisipan, kolaboratif, menghindar)
2.      Merumuskan tujuan pembelajaran khusus (State objectives)
Merumuskan secara spesifik pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang diharapkan dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran. Perlu kejelasan siapa yang belajar, dalam kondisi bagaimana kegiatan belajar dilakukan, dan seberapa tinggi tingkat pencapaian yang diharapkan dikuasai (mastery level)
3.      Memilih media dan paket pembelajaran (Selection of media an materials)
Memilih metode, media, dan materi pembelajaran yang digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran khusus. Disini tersedia tiga pilihan: (1) Memilih materi/paket pembelajaran yang telah tersedia di sekolah atau di pasaran; (2) Memodifikasi materi pembelajaran yang telah ada; (3) Membuat materi pembelajaran baru.
4.      Memanfaatkan materi pembelajaran (Utilization of instructional materials)
Kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pemanfaatan media dan paket pembelajaran: (1) Adakan telaah, kajian atau review terhadap media dan materi yang akan digunakan; (2) Latihan menggunakan media dan paket pembelajaran; (3) Siapkan ruang kelas beserta sarana atau alat yang diperlukan; (4) Laksanakan pembelajaran dengan menggunakan media dan materi pembelajaran yang telah disiapkan.

5.      Meminta respon siswa (Require learners response)
Tugasi siswa untuk berinteraksi dengan media dan materi pembelajaran. Tugasi siswa beraktivitas baik secara mental maupun fisik, misalnya dengan jalan menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan, meringkas, memberi komentar, mengkritik, mempraktikkan, memperagakan, mensimulasikan, dan lain sebagainya.
6.      Evaluasi (Evaluation) 
   Setelah pembelajaran dilaksanakan, perlu dievaluasi untuk mengetahui dampak dan efektivitasnya. Untuk memperoleh gambaran lengkap perlu dilakukan evaluasi baik terhadap proses maupun hasilnya. Berkenaan dengan proses yang ingin diketahui antara lain apakah media dan metode yang digunakan berdampak positif terhadap siswa (misalnya menarik, mudah ditangkap isi pesan pembelajarannya). Berkenaan dengan hasil aspek yang ingin dinilai apakah siswa dapat mencapai kompetensi atau tujuan yang telah ditetapkan.

Minggu, 17 November 2013

MEDIA FILM DALAM PEMBELAJARAN





Seiring perkembangan dunia pengetahuan dan teknologi, media dalam dunia pendidikan juga berkembang dengan pesatnya. Sekarang beraneka macam media yang berbasis teknologi informasi banyak kita jumpai dengan mudahnya dalam dunia  pembelajaran. Fungsi media dalam pembelajaran itu sendiri antara lain dapat memperjelas dalam penyajian materi dan informasi kepada siswa. Salah satu media yang sangat menarik bagi siswa adalah film.
Manfaat media film dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran diantaranya adalah: mengatasi keterbatasan waktu dan jarak, mampu menggambarkan peristiwa-peristiwa masa lalu secara realistis dalam waktu singkat, film dapat membawa anak dari negara yang satu ke negara yang lain dan dari masa yang satu ke masa yang lain, film dapat diulangi bila perlu untuk menambah kejelasan, pesan yang disampaikannya cepat dan mudah diingat, mengembangkan pikiran dan pendapat para siswa, mengembangkan imajinasi siswa, memperjelas hal-hal yang abstrak dan memberikan gambaran yang lebih realistik, sangat kuat mempengaruhi seseorang, film sangat baik menjelaskan suatu proses dan dapat menjelaskan suatu ketrampilan, semua siswa dapat belajar dari film baik yang pandai maupun yang kurang pandai (Yudhi Munadi, 2008: 116).
Perlunya Kreativitas Guru  
            Sebenarnya media film sudah sangat lama dikenal dalam dunia pendidikan, namun seringkali guru dengan berbagai alasan enggan atau malas memanfaatkannya. Sebagai seorang guru memang dituntut untuk cerdas dan kreatif termasuk didalamnya dalam memanfaatkan film untuk pembelajaran. Melalui berbagai strategi dan metode pembelajaran yang bervariatif dan inovatif media film dapat dihadirkan dalam pembelajaran. Sehingga pembelajaran tidak konvensional dan monoton yang menyebabkan siswa menjadi bosan dan kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran.
            Sangat mudah sebenarnya untuk mendapatkan film yang bisa digunakan dalam pembelajaran di zaman sekarang ini. Kita bisa mendapatkan film dengan mendownload secara gratis di internet ataupun membuatnya sendiri lewat berbagai  macam aplikasi pembuat film seperti movie maker misalnya. Dengan memanfaatkan film sebagai media, tentunya  pembelajaran akan semakin menarik minat dan motivasi siswa sehingga diharapkan nantinya akan berpengaruh positif terhadap prestasi siswa di sekolah.

Selasa, 15 Oktober 2013

Komponen-Komponen Kurikulum



Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain.
Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antar komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum.
Tujuan memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan Pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara.
Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Untuk mencapai tujuan mengajar diperlukan bahan ajar.
Penyusunan bahan ajar berhubungan erat dengan, strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan ajar.
Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan komputer.
Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi mengajar, dan media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi ditujukan untuk menilai Pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belaiar dan proses pelaksanaan mengaiar. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha Penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan media mengajar.

Sumber :  Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata. 2012. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rabu, 25 September 2013

LANDASAN SOSIOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM



Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Sekolah harus bekerja sama dengan masyarakat, dan program sekolah harus disusun dan diarahkan oleh masyarakat yang menunjang sekolah tersebut.
Pendidikan merupakan suatu proses sosial, karena berfungsi memasyarakatkan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam masyarakat tertentu. Sekolah, sebagai salah satu institusi pendidikan, berperan juga sebagai institusi sosial, karena melalui lembaga tersebut anak dipersiapkan untuk mampu terjun dan aktif dalam kehidupan masyarakatnya kelak. Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, wajar jika dalam penyusunan dan pelaksanaannya kurikulum sekolah banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat. Program pendidikan disusun dan dipengaruhi oleh nilai, masalah, kebutuhan, dan tantangan dalam masyarakat sekitarnya. Pengaruh tersebut berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa, isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.

Sumber:
Prof. Dr. H. Oemar Hamalik. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Minggu, 08 September 2013

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL DI YOGYAKARTA



A.    Pendahuluan
             Jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan sendiri. Lembaga pendidikan pribumi itu adalah pondok pesantren. Untuk memasuki pesantren tidak diperlukan persyaratan resmi dan seorang kyai tidak pernah menolak, asalkan seorang santri sungguh-sungguh menunjukkan hasratnya untuk belajar dan bersedia hidup dengan syarat-syarat yang sama dengan para santri lain dalam pesantren serta melaksanakan semua kewajiban keagamaan dan keduniawian dalam masyarakat kecil yang eksklusif. Kehidupan dalam pesantren diatur sebagai suatu keluarga besar yang berpusat di sekitar kyai.
            Dalam beberapa dasawarsa terakhir, oleh organisasi-organisasi Islam juga telah didirikan madrasah, dan tingkat pendidikannya bisa disamakan dengan sekolah dasar. Semenjak berakhirnya revolusi bersenjata sudah ada kecenderungan yang kuat adanya sekularisasi pandangan hidup masyarakat Jawa di Yogyakarta. Kecenderungan sekularisasi telah berkembang lebih kuat di madrasah-madrasah dimana murid-murid menghendaki lebih banyak pelajaran sekuler untuk mengimbangi kurikulum dalam sekolah-sekolah dasar negeri. Akan tetapi hasrat akan pendidikan sekuler yang tumbuh dengan pesat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya nampaknya menarik perhatian angkatan muda dari pendidikan yang murni agama. Pelajaran agama berangsur-angsur akan berkurang kecuali kalau disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri pemuda Indonesia sejak kemerdekaan.
B.     Sistem Pendidikan Hindia Belanda
Belanda membawa ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang dalam banyak hal berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (1) Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap agama; (2) tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan; (3) diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam masyarakat; (4) juga diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Jawa; (5) sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elit masyarakat yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan dengan demikian benar-benar mencerminkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
C.    Pendidikan di Zaman Penjajahan Jepang
Pendidikan pada masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ditandai oleh tiga prinsip pokok: (1) pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial; (2) pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-sekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan utama; (3) semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasikan gagasan Kemakmuran Bersama Asia Tenggara dibawah pimpinan Jepang.
D.     Pendidikan di Zaman Kemerdekaan
Perubahan politik dan sosial yang mendasar di Yogyakarta, yang dimulai pada masa pendudukan Jepang dan berlanjut setelah pecahnya revolusi nasional, sangat membantu dalam mengubah akan tuntutan pendidikan menjadi tuntutan umum rakyat.  Sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kedaulatan rakyat, pemerintah nasional menetapkan kebijakan bahwa pendidikan adalah untuk seluruh rakyat dan bukan hanya untuk golongan elit dalam masyarakat.
Kebutuhan akan pendidikan di pihak orang tua dan anak-anaknya meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan antara 1945 hingga 1950.  Banyak anak muda dalam jumlah besar membanjiri sekolah-sekolah sehingga timbul masalah besar bagi pemerintah untuk menyediakan ruangan belajar, peralatan dan guru-guru.  Pemerintah dipaksa untuk memuaskan tuntutan psikologis meskipun tidak sesuai dengan standar pendidikan yang baik. Membangun sebanyak mungkin sekolah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kualitas guru dan bahan-bahan untuk pengajaran.
Pada tahun 1946 berdiri Universitas Gadjah Mada, yang diharapkan menjadi tempat para pemuda Indonesia yang paling cerdas bisa memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk melanjutkan revolusi demi tujuan-tujuan yang positif dan konstruktif. Sri Sultan dengan sukarela menyediakan bagian depan dari istananya menjadi tempat universitas baru itu.
E.     Sekolah dan Masyarakat
Begitu kampanye pendidikan tersebar ke seluruh daerah pedesaan Yogyakarta, tak ada cara lain untuk mencegah anak-anak ke sekolah. Bersekolah sudah melembaga dalam masyarakat pedesaan. Orang tua di daerah pedesaan pada jaman Belanda cenderung memandang anak-anaknya sebagai suatu modal ekonomi yang harus dimanfaatkan dalam kegiatan usaha tani, sebaliknya kini mereka menyekolahkan anaknya untuk memperoleh keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik di luar pertanian sehingga mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan kerja di masa depan. Banyak orang yang belajar dengan tujuan untuk memperoleh ijazah dan gelar yang dapat dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan prestise sosial  
 

SUMBER:  Selo Soemardjan. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.