Rabu, 25 September 2013

LANDASAN SOSIOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM



Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam melaksanakan pendidikan. Sekolah harus bekerja sama dengan masyarakat, dan program sekolah harus disusun dan diarahkan oleh masyarakat yang menunjang sekolah tersebut.
Pendidikan merupakan suatu proses sosial, karena berfungsi memasyarakatkan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam masyarakat tertentu. Sekolah, sebagai salah satu institusi pendidikan, berperan juga sebagai institusi sosial, karena melalui lembaga tersebut anak dipersiapkan untuk mampu terjun dan aktif dalam kehidupan masyarakatnya kelak. Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, wajar jika dalam penyusunan dan pelaksanaannya kurikulum sekolah banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat. Program pendidikan disusun dan dipengaruhi oleh nilai, masalah, kebutuhan, dan tantangan dalam masyarakat sekitarnya. Pengaruh tersebut berdampak pada komponen-komponen kurikulum seperti tujuan pendidikan, siswa, isi kurikulum, maupun situasi sekolah tempat kurikulum dilaksanakan.

Sumber:
Prof. Dr. H. Oemar Hamalik. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Minggu, 08 September 2013

PENDIDIKAN DAN PERUBAHAN SOSIAL DI YOGYAKARTA



A.    Pendahuluan
             Jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan sendiri. Lembaga pendidikan pribumi itu adalah pondok pesantren. Untuk memasuki pesantren tidak diperlukan persyaratan resmi dan seorang kyai tidak pernah menolak, asalkan seorang santri sungguh-sungguh menunjukkan hasratnya untuk belajar dan bersedia hidup dengan syarat-syarat yang sama dengan para santri lain dalam pesantren serta melaksanakan semua kewajiban keagamaan dan keduniawian dalam masyarakat kecil yang eksklusif. Kehidupan dalam pesantren diatur sebagai suatu keluarga besar yang berpusat di sekitar kyai.
            Dalam beberapa dasawarsa terakhir, oleh organisasi-organisasi Islam juga telah didirikan madrasah, dan tingkat pendidikannya bisa disamakan dengan sekolah dasar. Semenjak berakhirnya revolusi bersenjata sudah ada kecenderungan yang kuat adanya sekularisasi pandangan hidup masyarakat Jawa di Yogyakarta. Kecenderungan sekularisasi telah berkembang lebih kuat di madrasah-madrasah dimana murid-murid menghendaki lebih banyak pelajaran sekuler untuk mengimbangi kurikulum dalam sekolah-sekolah dasar negeri. Akan tetapi hasrat akan pendidikan sekuler yang tumbuh dengan pesat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya nampaknya menarik perhatian angkatan muda dari pendidikan yang murni agama. Pelajaran agama berangsur-angsur akan berkurang kecuali kalau disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri pemuda Indonesia sejak kemerdekaan.
B.     Sistem Pendidikan Hindia Belanda
Belanda membawa ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang dalam banyak hal berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (1) Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap agama; (2) tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan; (3) diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam masyarakat; (4) juga diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Jawa; (5) sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elit masyarakat yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan dengan demikian benar-benar mencerminkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
C.    Pendidikan di Zaman Penjajahan Jepang
Pendidikan pada masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ditandai oleh tiga prinsip pokok: (1) pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial; (2) pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-sekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan landasan utama; (3) semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasikan gagasan Kemakmuran Bersama Asia Tenggara dibawah pimpinan Jepang.
D.     Pendidikan di Zaman Kemerdekaan
Perubahan politik dan sosial yang mendasar di Yogyakarta, yang dimulai pada masa pendudukan Jepang dan berlanjut setelah pecahnya revolusi nasional, sangat membantu dalam mengubah akan tuntutan pendidikan menjadi tuntutan umum rakyat.  Sesuai dengan cita-cita demokrasi dan kedaulatan rakyat, pemerintah nasional menetapkan kebijakan bahwa pendidikan adalah untuk seluruh rakyat dan bukan hanya untuk golongan elit dalam masyarakat.
Kebutuhan akan pendidikan di pihak orang tua dan anak-anaknya meningkat selama tahun-tahun pertumbuhan antara 1945 hingga 1950.  Banyak anak muda dalam jumlah besar membanjiri sekolah-sekolah sehingga timbul masalah besar bagi pemerintah untuk menyediakan ruangan belajar, peralatan dan guru-guru.  Pemerintah dipaksa untuk memuaskan tuntutan psikologis meskipun tidak sesuai dengan standar pendidikan yang baik. Membangun sebanyak mungkin sekolah dalam waktu singkat tanpa memperhatikan kualitas guru dan bahan-bahan untuk pengajaran.
Pada tahun 1946 berdiri Universitas Gadjah Mada, yang diharapkan menjadi tempat para pemuda Indonesia yang paling cerdas bisa memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk melanjutkan revolusi demi tujuan-tujuan yang positif dan konstruktif. Sri Sultan dengan sukarela menyediakan bagian depan dari istananya menjadi tempat universitas baru itu.
E.     Sekolah dan Masyarakat
Begitu kampanye pendidikan tersebar ke seluruh daerah pedesaan Yogyakarta, tak ada cara lain untuk mencegah anak-anak ke sekolah. Bersekolah sudah melembaga dalam masyarakat pedesaan. Orang tua di daerah pedesaan pada jaman Belanda cenderung memandang anak-anaknya sebagai suatu modal ekonomi yang harus dimanfaatkan dalam kegiatan usaha tani, sebaliknya kini mereka menyekolahkan anaknya untuk memperoleh keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik di luar pertanian sehingga mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan kerja di masa depan. Banyak orang yang belajar dengan tujuan untuk memperoleh ijazah dan gelar yang dapat dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan prestise sosial  
 

SUMBER:  Selo Soemardjan. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.