Minggu, 19 Mei 2013

Kedatangan Tentara Jepang di Indonesia


Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan bagian dari rangkaian imperialisme modernnya di Asia Tenggara.[1] Politik imperialisme ini mulai dilaksanakan Jepang sejak awal abad XX. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi imperialisme Jepang adalah adanya kemajuan di bidang industri. Dengan majunya bidang industri ini, Jepang membutuhkan daerah pemasaran baru dan persediaan bahan mentah dalam jumlah banyak.[2] Sementara itu, Indonesia adalah negara yang luas dan memiliki kekayaan alam dan jumlah manusia yang melimpah. Dengan demikian, tidak salah jika Indonesia adalah salah satu negara sasaran imperialisme Jepang.
Imperialisme Jepang juga didorong oleh ajaran Shintoisme tentang Hakko-ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia.[3] Sebagai negara yang telah maju, Jepang berkewajiban memajukan dan mempersatukan bangsa-bangsa di dunia. Langkah nyata yang diambil untuk mewujudkan ajaran tersebut adalah dengan membentuk lingkungan kemakmuran bersama di kawasan Asia Timur Raya.
Tindakan pertama yang dilakukan Jepang untuk membentuk kawasan tersebut adalah dengan menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat tanggal 7 Desember 1941. Penyerangan ini bertujuan untuk melumpuhkan kekuatan Amerika di Pasifik sehingga mempermudah penyerbuan Jepang ke wilayah Asia Tenggara.[4] Penyerbuan ke wilayah Asia Tenggara ini dilakukan oleh Angkatan Darat (Rikugun) dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang. Kedua angkatan tersebut berhasil menaklukkan satu demi satu wilayah di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Pendudukan di Indonesia berlangsung secara bertahap dari daerah luar pulau Jawa. Daerah yang pertama kali diduduki oleh Jepang adalah Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 11 Januari 1942. Keesokan harinya daerah ini berhasil dikuasai. Pendudukan Jepang terus melebar ke daerah Kalimantan lainnya. Setelah semua wilayah Kalimantan berhasil dikuasai, pasukan militer Jepang bergerak ke pulau Sumatera.
Salah satu daerah di Sumatra yang sangat berarti bagi Jepang adalah Palembang. Dengan dikuasainya Palembang maka gerak mundur pasukan Sekutu di Sumatra ke Jawa dapat ditutup dan kemungkinan masuknya bantuan untuk Sekutu dari daerah Jawa dapat dicegah.[5] Penyerbuan tentara militer Jepang ke Palembang dimulai tanggal 12 Februari 1942 dan berhasil dikuasai tanggal 16 Februari 1942. Sementara itu, daerah-daerah lain di Sumatera baru dapat dikuasai pada minggu kedua bulan Maret 1942. Aceh dan Sumatra Timur berhasil diduduki Jepang pada tanggal 11 Maret 1942 dan Sumatra Barat tanggal 17 Maret 1942. 
Dikuasainya seluruh pulau Sumatera, terutama Palembang maka terbukalah pulau Jawa bagi tentara militer Jepang. Kekuatan khusus militer Jepang untuk merebut pulau Jawa berada di bawah komando Tentara XVI dengan pimpinan Letjend Hitoshi Imamura. Pada tanggal 1 Maret 1942, pasukan tersebut berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus yaitu di teluk Banten, di Eretan Wetan dan di Kragan. Setelah pendaratan di tiga tempat tersebut, Jepang segera meluaskan peyerangan ke daerah Batavia dan berhasil menaklukkannya sebagai kota terbuka pada tanggal 5 Maret 1942.
Pada tanggal 5 Maret 1942, penyerbuan Jepang mulai meluas ke pelosok daerah di Jawa termasuk juga Surakarta. Penyerangan Jepang ke Surakarta dipimpin oleh komandan Funabiki. Kedatangan pasukan musuh tersebut dihadang oleh dua kompi pasukan KNIL, satu peleton kavaleri, dua batalyon legiun Mangkunegaran dan beberapa pasukan milisi. Gabungan pasukan penghadang tersebut masih dapat dikalahkan pasukan Jepang sehingga dalam waktu tidak terlalu lama kota Surakarta berhasil pula dikuasai.
Pasukan Jepang tersebut segera melakukan penangkapan terhadap orang-orang Belanda. Rumah-rumah yang sudah tak berpenghuni karena ditinggal oleh pemiliknya dalam menghindari penangkapan Jepang menjadi sasaran penjarahan masyarakat. Mereka mengambil barang-barang di rumah tersebut yang selama ini belum pernah dimiliki.
 Pasukan Jepang lainnya juga bergerak ke daerah lain seperti Bogor dan Bandung. Jepang menyerbu Bandung dari arah utara dengan menurunkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji. Kota Lembang sebagai pertahanan terakhir di Bandung akhirnya harus jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 7 Maret 1942.
Sehari sebelum Bandung jatuh ke tangan Jepang, Letjend Ter Poorten sebagai panglima KNIL mengeluarkan perintah kepada Mayjend J.J. Pesman, panglima di Jawa Barat agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung. Perintah tersebut dikeluarkan karena pada saat itu kota Bandung telah penuh dengan penduduk sipil, wanita dan anak-anak. Setelah semua wilayah Bandung dapat diduduki, pada petang harinya Letjend Imamura menuntut penyerahan seluruh pasukan Serikat di Jawa dan bagian Indonesia lainnya. Pada awalnya pihak Jepang keberatan dengan tuntutan tersebut dan hanya bersedia melakukan penyerahan lokal, namun ancaman bom yang dikeluarkan oleh Jepang jika tuntutannya tidak dipenuhi membuat Belanda bersedia melakukan penyerahan total seluruh wilayah Indonesia.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima tentara Hindia Belanda, Letjend Ter Poorten dan beberapa pejabat tinggi militer berunding dengan Letjend Imamura di Kalijati. Hasil perundingan tersebut adalah kapitulasi tanpa syarat angkatan perang Hindia Belanda pada Jepang.
Kedatangan Jepang ke Indonesia yang resmi berkuasa tanggal 8 Maret 1942 telah mengakibatkan berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang diterapkan adalah dalam pembagian wilayah pemerintahan. Sebelum pendudukan Jepang berlangsung, pemerintahan yang ada di Indonesia hanya ada satu yaitu pemerintahan sipil. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah pemerintahan militer. Tiga pemerintahan militer pendudukan tersebut adalah sebagai berikut:
1.       Sumatra diletakkan di bawah Angkatan Darat XXV dengan pusat di Bukittinggi.
2.       Jawa dan Madura diletakkan di bawah Angkatan Darat XVI dengan pusat di Jakarta.
3.       Kalimantan dan Indonesia Timur diletakkan di bawah Angkatan Laut Armada Selatan II.[6]  
Pemerintahan yang diterapkan Jepang pada awal pendudukannya ini adalah pemerintahan sementara. Pemerintahan sementara ini berlangsung sebelum tenaga sipil Jepang datang ke Indonesia. Tujuan dari pemerintahan sementara tersebut adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban setelah terjadi perebutan kekuasaan. Seluruh badan pemerintah dan peraturan dari pemerintah sebelumnya masih dinyatakan berlaku untuk sementara waktu selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah Jepang.
Dasar hukum pemerintahan militer pendudukan yang bersifat sementara tersebut adalah Osamu Seirei No.1 pasal 1 yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1942.[7] Undang-Undang yang terdiri dari empat pasal ini  berisi tentang dihapuskannya kekuasaan Gubernur Jendral kemudian digantikan oleh panglima tentara Jepang di Jawa. Selain itu, pemerintah Jepang masih menggunakan aparat pemerintahan sipil lama agar pemerintahan sementara berjalan lancar dan aman.dalam hal ini seluruh pimpinan di pusat maupun daerah dipegang oleh tentara Jepang Susunan pemerintahan militer Jepang terdiri dari Gunshireikan (panglima tentara) sebagai pucuk pimpinan, kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi). Di bawah Gunshireikan terdapat Gunseikan (kepala pemerintah militer) yang dirangkap oleh kepala staf tentara. Mayjend Seizaburo Okasaki adalah Gunseikan pertama yang ditugaskan membentuk pemerintahan militer di Jawa. Staf pemerintahan militer pusat disebut Gunseikanbu. Ada lima bu (semacam departemen) yang terdapat di dalam Gunseikanbu yaitu Somubu (Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu (Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan) dan Kotsubu (Departemen Lalulintas) serta Shihobu (Departemen Kehakiman). Koordinator dari pemerintahan militer setempat disebut Gunseibu. 
Pemerintahan militer sementara Jepang juga membuat peraturan lain yang termuat dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1942. Undang-Undang ini berisi: bahwa hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar dan lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo (lagu kebangsaan Jepang). Selain itu, pada tanggal 1 April 1942, pemerintah Jepang juga menetapkan waktu/jam Jepang sebagai patokan waktu di Jawa dan menghapus patokan waktu pada zaman pemeritahan Hindia Belanda. Selisih waktu antara Jepang dan pulau Jawa adalah 90 menit. Tarikh yang dipakai juga diubah menjadi tarikh sumera.





[1] Imperialisme adalah suatu sistem penjajahan langsung suatu negara terhadap negara lain. Ada dua jenis imperialisme yaitu imperialisme kuno dan modern. Imperialisme modern berlangsung setelah revolusi industri berkembang pesat. Latar belakang dari imperialisme modern adalah keinginan negara penjajah mengembangkan ekonominya. Lihat: Samekto, 1982, Ikhtisar Sejarah Bangsa Inggris, Jakarta: Sastra Hudaya, hal. 232-233.
 
[2] Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 177.

[3] Ibid, hal. 178. 
[4] G. Moedjanto,  1988, Indonesia Abad ke-20 (1), Yogyakarta: Kanisius, hal. 69. 

[5] Mestika Zed, 2003, Kepialangan Politik dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta: Pustaka LP3ES, hal. 228.
[6] M.C.Riklefs, 1994, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 297.

[7] Osamu Seirei sama artinya dengan Undang-Undang Osamu. Kata Osamu merupakan sandi dari strategi awal Tentara XVI dalam menguasai Hindia Belanda yang berarti ”memenangkan” atau ”menahan” perang dengan menduduki bagian-bagian penting Hindia Belanda. Osamu Seirei itu sendiri merupakan salah satu jenis Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Selain itu pemerintah pendudukan Jepang juga mengeluarkan jenis UU lain yaitu UU yang diikuti dengan nomor. Lihat: Akira Nagazumi, 1988, Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 24-25. Lihat juga lampiran 4: Kan Po, No. 4 Bulan 10 Tahun 2602 (1942), hal. 6-7.