Pendudukan Jepang di Indonesia merupakan
bagian dari rangkaian imperialisme modernnya di Asia Tenggara.[1]
Politik imperialisme ini mulai dilaksanakan Jepang sejak awal abad XX. Salah
satu faktor penting yang mempengaruhi imperialisme Jepang adalah adanya
kemajuan di bidang industri. Dengan majunya bidang industri ini, Jepang
membutuhkan daerah pemasaran baru dan persediaan bahan mentah dalam jumlah
banyak.[2]
Sementara itu, Indonesia adalah negara yang luas dan memiliki kekayaan alam dan
jumlah manusia yang melimpah. Dengan demikian, tidak salah jika Indonesia
adalah salah satu negara sasaran imperialisme Jepang.
Imperialisme Jepang juga didorong oleh
ajaran Shintoisme tentang Hakko-ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan
keluarga umat manusia.[3]
Sebagai negara yang telah maju, Jepang berkewajiban memajukan dan mempersatukan
bangsa-bangsa di dunia. Langkah nyata yang diambil untuk mewujudkan ajaran
tersebut adalah dengan membentuk lingkungan kemakmuran bersama di kawasan Asia
Timur Raya.
Tindakan pertama yang dilakukan Jepang
untuk membentuk kawasan tersebut adalah dengan menyerang pangkalan Angkatan
Laut Amerika Serikat tanggal 7 Desember 1941. Penyerangan ini bertujuan untuk
melumpuhkan kekuatan Amerika di Pasifik sehingga mempermudah penyerbuan Jepang
ke wilayah Asia Tenggara.[4]
Penyerbuan ke wilayah Asia Tenggara ini dilakukan oleh Angkatan Darat (Rikugun)
dan Angkatan Laut (Kaigun) Jepang. Kedua angkatan tersebut berhasil
menaklukkan satu demi satu wilayah di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Pendudukan di Indonesia berlangsung secara
bertahap dari daerah luar pulau Jawa. Daerah yang pertama kali diduduki oleh
Jepang adalah Tarakan Kalimantan Timur pada tanggal 11 Januari 1942. Keesokan
harinya daerah ini berhasil dikuasai. Pendudukan Jepang terus melebar ke daerah
Kalimantan lainnya. Setelah semua wilayah Kalimantan berhasil dikuasai, pasukan
militer Jepang bergerak ke pulau Sumatera.
Salah satu daerah di Sumatra yang sangat
berarti bagi Jepang adalah Palembang. Dengan dikuasainya Palembang maka gerak
mundur pasukan Sekutu di Sumatra ke Jawa dapat ditutup dan kemungkinan masuknya
bantuan untuk Sekutu dari daerah Jawa dapat dicegah.[5]
Penyerbuan tentara militer Jepang ke Palembang dimulai tanggal 12 Februari 1942
dan berhasil dikuasai tanggal 16 Februari 1942. Sementara itu, daerah-daerah
lain di Sumatera baru dapat dikuasai pada minggu kedua bulan Maret 1942. Aceh
dan Sumatra Timur berhasil diduduki Jepang pada tanggal 11 Maret 1942 dan
Sumatra Barat tanggal 17 Maret 1942.
Dikuasainya seluruh pulau Sumatera,
terutama Palembang maka terbukalah pulau Jawa bagi tentara militer Jepang.
Kekuatan khusus militer Jepang untuk merebut pulau Jawa berada di bawah komando
Tentara XVI dengan pimpinan Letjend Hitoshi Imamura. Pada tanggal 1 Maret 1942,
pasukan tersebut berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus yaitu di teluk
Banten, di Eretan Wetan dan di Kragan. Setelah pendaratan di tiga tempat
tersebut, Jepang segera meluaskan peyerangan ke daerah Batavia dan berhasil
menaklukkannya sebagai kota terbuka pada tanggal 5 Maret 1942.
Pada tanggal 5 Maret 1942, penyerbuan
Jepang mulai meluas ke pelosok daerah di Jawa termasuk juga Surakarta.
Penyerangan Jepang ke Surakarta dipimpin oleh komandan Funabiki. Kedatangan
pasukan musuh tersebut dihadang oleh dua kompi pasukan KNIL, satu peleton
kavaleri, dua batalyon legiun Mangkunegaran dan beberapa pasukan milisi.
Gabungan pasukan penghadang tersebut masih dapat dikalahkan pasukan Jepang sehingga
dalam waktu tidak terlalu lama kota Surakarta berhasil pula dikuasai.
Pasukan Jepang tersebut segera melakukan
penangkapan terhadap orang-orang Belanda. Rumah-rumah yang sudah tak
berpenghuni karena ditinggal oleh pemiliknya dalam menghindari penangkapan
Jepang menjadi sasaran penjarahan masyarakat. Mereka mengambil barang-barang di
rumah tersebut yang selama ini belum pernah dimiliki.
Pasukan Jepang lainnya juga bergerak ke daerah
lain seperti Bogor dan Bandung. Jepang menyerbu Bandung dari arah utara dengan
menurunkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji. Kota
Lembang sebagai pertahanan terakhir di Bandung akhirnya harus jatuh ke tangan
Jepang pada tanggal 7 Maret 1942.
Sehari sebelum Bandung jatuh ke tangan
Jepang, Letjend Ter Poorten sebagai panglima KNIL mengeluarkan perintah kepada
Mayjend J.J. Pesman, panglima di Jawa Barat agar tidak mengadakan pertempuran
di Bandung. Perintah tersebut dikeluarkan karena pada saat itu kota Bandung
telah penuh dengan penduduk sipil, wanita dan anak-anak. Setelah semua wilayah
Bandung dapat diduduki, pada petang harinya Letjend Imamura menuntut penyerahan
seluruh pasukan Serikat di Jawa dan bagian Indonesia lainnya. Pada awalnya
pihak Jepang keberatan dengan tuntutan tersebut dan hanya bersedia melakukan
penyerahan lokal, namun ancaman bom yang dikeluarkan oleh Jepang jika
tuntutannya tidak dipenuhi membuat Belanda bersedia melakukan penyerahan total
seluruh wilayah Indonesia.
Pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima tentara
Hindia Belanda, Letjend Ter Poorten dan beberapa pejabat tinggi militer
berunding dengan Letjend Imamura di Kalijati. Hasil perundingan tersebut adalah
kapitulasi tanpa syarat angkatan perang Hindia Belanda pada Jepang.
Kedatangan Jepang ke Indonesia yang resmi
berkuasa tanggal 8 Maret 1942 telah mengakibatkan berbagai perubahan. Salah
satu perubahan yang diterapkan adalah dalam pembagian wilayah pemerintahan.
Sebelum pendudukan Jepang berlangsung, pemerintahan yang ada di Indonesia hanya
ada satu yaitu pemerintahan sipil. Setelah pendudukan dimulai, Jepang membagi
Indonesia menjadi tiga wilayah pemerintahan militer. Tiga pemerintahan militer
pendudukan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sumatra diletakkan di bawah Angkatan Darat XXV
dengan pusat di Bukittinggi.
2. Jawa dan Madura diletakkan di bawah Angkatan
Darat XVI dengan pusat di Jakarta.
3. Kalimantan dan Indonesia Timur diletakkan di
bawah Angkatan Laut Armada Selatan II.[6]
Pemerintahan yang diterapkan Jepang pada
awal pendudukannya ini adalah pemerintahan sementara. Pemerintahan sementara
ini berlangsung sebelum tenaga sipil Jepang datang ke Indonesia. Tujuan dari
pemerintahan sementara tersebut adalah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban
setelah terjadi perebutan kekuasaan. Seluruh badan pemerintah dan peraturan
dari pemerintah sebelumnya masih dinyatakan berlaku untuk sementara waktu
selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah Jepang.
Dasar hukum pemerintahan militer
pendudukan yang bersifat sementara tersebut adalah Osamu Seirei No.1 pasal 1
yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 1942.[7]
Undang-Undang yang terdiri dari empat pasal ini berisi tentang dihapuskannya
kekuasaan Gubernur Jendral kemudian digantikan oleh panglima tentara Jepang di
Jawa. Selain itu, pemerintah Jepang masih menggunakan aparat pemerintahan sipil
lama agar pemerintahan sementara berjalan lancar dan aman.dalam hal ini seluruh
pimpinan di pusat maupun daerah dipegang oleh tentara Jepang Susunan pemerintahan militer Jepang
terdiri dari Gunshireikan (panglima tentara) sebagai pucuk pimpinan,
kemudian disebut Saiko Shikikan (panglima tertinggi). Di bawah Gunshireikan
terdapat Gunseikan (kepala pemerintah militer) yang dirangkap oleh
kepala staf tentara. Mayjend Seizaburo Okasaki adalah Gunseikan pertama
yang ditugaskan membentuk pemerintahan militer di Jawa. Staf pemerintahan
militer pusat disebut Gunseikanbu. Ada lima bu (semacam
departemen) yang terdapat di dalam Gunseikanbu yaitu Somubu
(Departemen Urusan Umum), Zaimubu (Departemen Keuangan), Sangyobu
(Departemen Perusahaan, Industri dan Kerajinan Tangan) dan Kotsubu
(Departemen Lalulintas) serta Shihobu (Departemen Kehakiman).
Koordinator dari pemerintahan militer setempat disebut Gunseibu.
Pemerintahan militer sementara Jepang juga membuat
peraturan lain yang termuat dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1942. Undang-Undang
ini berisi: bahwa hanya bendera Jepang yang boleh dipasang pada hari-hari besar
dan lagu kebangsaan yang boleh diperdengarkan hanyalah Kimigayo (lagu
kebangsaan Jepang). Selain itu, pada tanggal 1 April 1942, pemerintah Jepang
juga menetapkan waktu/jam Jepang sebagai patokan waktu di Jawa dan menghapus
patokan waktu pada zaman pemeritahan Hindia Belanda. Selisih waktu antara
Jepang dan pulau Jawa adalah 90 menit. Tarikh yang dipakai juga diubah menjadi
tarikh sumera.
[1] Imperialisme adalah suatu sistem
penjajahan langsung suatu negara terhadap negara lain. Ada dua jenis
imperialisme yaitu imperialisme kuno dan modern. Imperialisme modern
berlangsung setelah revolusi industri berkembang pesat. Latar belakang dari
imperialisme modern adalah keinginan negara penjajah mengembangkan ekonominya.
Lihat: Samekto, 1982, Ikhtisar Sejarah
Bangsa Inggris, Jakarta: Sastra Hudaya, hal. 232-233.
[2] Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika
Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan,
Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 177.
[3] Ibid,
hal. 178.
[4] G. Moedjanto, 1988, Indonesia Abad ke-20 (1),
Yogyakarta: Kanisius, hal. 69.
[5] Mestika Zed, 2003, Kepialangan Politik
dan Revolusi Palembang 1900-1950, Jakarta: Pustaka LP3ES, hal. 228.
[6]
M.C.Riklefs, 1994, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, hal. 297.
[7] Osamu Seirei sama artinya dengan Undang-Undang Osamu. Kata Osamu
merupakan sandi dari strategi awal Tentara XVI dalam menguasai Hindia Belanda
yang berarti ”memenangkan” atau ”menahan” perang dengan menduduki bagian-bagian
penting Hindia Belanda. Osamu Seirei itu sendiri merupakan salah satu
jenis Undang-Undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Selain
itu pemerintah pendudukan Jepang juga mengeluarkan jenis UU lain yaitu UU yang
diikuti dengan nomor. Lihat: Akira Nagazumi, 1988, Pemberontakan Indonesia
di Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 24-25.
Lihat juga lampiran 4: Kan Po, No. 4
Bulan 10 Tahun 2602 (1942), hal. 6-7.