Olahraga
khususnya sepak bola merupakan salah satu kebudayaan Barat yang banyak
berpengaruh dalam kehidupan rnasyarakat Jawa pada abad XX. Hal tersebut
dikarenakan sepak bola sangat betkembang di karangan masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan dan ketenaran sepak bola adalah sifat dari olahraga itu sendiri ,
antara lain yang pertama; olahraga ini sangat sederhana sehingga mudah
dimainkan, kedua; sepak bola merupakan satu olahraga yang tepat untuk
menyalurkan kepenatan psikis maupun psikologis. Adapun faktor luar adalah peran
aktif dari penggemar sepak bola yang menjadikan olahraga ini sebagai pilihan utama rekreasi, dimasukkan
dalam kurikulum sekolah, pendirian klub-klub sepak bola dan dipergunakannya sebagai
suatu institusi bisnis. Faktor lain yang tak kalah penting yakni semakin
berkembangnya system transportasi dan komunikasi di pulau Jawa.
Pengaruh
sepak bola ini bukan hanya menyangkut keadaan ekonomi masyarakat Jawa melainkan
juga kondisi sosial dan politiknya. Karena penetrasi ekonomi asing dan kepadatan
penduduk, maka perluasan dalam lapangan kerja mulai dilakukan. Munculnya stedenwedstrijden di Semarang menyebabkan
orang-orang tak lagi menganggap sepak bola sekedar sebagai sarana rekreasi,
tetapi lebih dari itu yakni sebagai lahan untuk mengumpulkan uang. Sejak saat
itu berbagai perusahaan dan rombongan sandiwara keliling mendirikan klub-klub
sepak bola dengan menggunakan pemain bayaran.
Perluasan
kerja dalam sepak bola tersebut membawa akibat bagi mobilitas sosial orang-o rang
bumiputra. Jika semula hanya golongan-golongan tertentu yang dapat bermain dan
masuk dalam perkumpulan sepak bola Belanda, maka dengan permainan ini orang-orang
yang tak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, dan bukan pula keturunan bangsawan
bisa bergaul dengan masyarakat golongan atas.
Meskipun
sepak bola turut mendobrak garis pemisah antara penguasa dan yang dikuasai
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah, tetapi masih saja golongan Belanda
yang mengatur. Karena pada dasarnya sistem masyarakat Jawa selama periode kolonial
berada di tangan Belan da, yang juga bertindak sebagai pengawas semua
perlengkapan kekuasaan yang ada. Berdasar hukum yang berlaku itu, maka urutan masyarakat
telah ditentukan dengan rnenempatkan orang Belanda dan Eropa lain diurutan
teratas. Diikuti oleh golongan bumiputra, meskipun golongan yang terakhir ini
memiliki kecakapan yang setaraf dengan orang- orang Eropa.
Nederlandsch lndische Voetbal Bond
(NIVB) merupakan organisasi sepak bola Belanda yang dibentuk oleh bangsa
Belanda untuk mempertahankan prestise dan salah satu kepanjangan politik mereka
dalam bidang olahraga terutama sepak bola. NIVB ini menetapkan
peraturan-peraturan tentang keanggotaan maupun kompetisi yang diadakan. Karena
pemain dari luar bangsa Eropa terbatas bagi orang-orang yang berkemampuan terbaik
dan golongan tertentu, maka orang-orang Tionghoa dan bumiputra yang tak bisa
masuk NIVB berusaha mendirikan perkumpulan sepak bola sendiri.
Seiring
dengan munculnya kaum terpelajar akibat dijalankannya politik etis dan
bergemanya ide-ide nasionalisme menggugah hati para perintis kemerdekaan akan pentingnya
olahraga. Mereka menyadari bahwa olahraga tidak saja dapat digunakan sebagai
salah satu cara untuk membentuk fisik dan mental tetapi juga sebagai alat perjuangan
bangsa terutama dalam memupuk rasa kebangsaan. Dengan kemajuan berpikir dan
tumbuhnya kesadaran berorganisasi maka para cendekia merasa bahwa perjuangan bangsa
melalui olahraga tidak akan mencapai hasil yang diharapkan tanpa adanya organisasi
olahraga. Akhirnya kaum pergerakan dan tokoh-tokoh olahraga bumiputra berhasil
mendirikan PSSI pada tahun 1930. Pada tahun yang sama orang-orang Tionghoa
mendirikan pula organisasi sepak bola dengan nama Hwa Nan Voetbal Bond. Dengan demikian ada tiga organisasi sepak
bola di Indonesia, yakni NIVB milik bangsa Belanda, PSSI yang didirikan oleh
Indonesia dan HNVB yang dibentuk oleh bangsa Tionghoa.
Sejak
lahirnya dua organisasi sepak bola tersebut aspek politik semakin berpengaruh
dalam sepak bola di Jawa. Ketiga organisasi sepak bola itu mulai bergerak untuk
mendukung tujuan masing-masing. Bangsa Tionghoa yang merasa berbeda dengan
bangsa Belanda ataupun pribumi aktif mengundang kesebelasan dari negeri
moyangnya untuk menyamai NIVB. Bangsa Belanda dengan diskriminasi rasnya berusaha
menghalangi setiap langkah HNVB dan PSSI untuk memajukan organisasi sepak bola
mereka. Boikot sepak bola pada tahun 1932 merupakan puncak kekesalan orang-orang
Tionghoa atas sikap dominasi Belanda dalam bidang sepak bola. Konflik yang semula
antara perhimpunan sepak bola Belanda dengan pers Tionghoa peranakan di Surabaya
menjadi pembentukan front persatuan antara kaum Tionghoa peranakan, Arab peranakan,
dan orang-orang Indonesia.
Diskriminasi
sepak bola terutama dialami oleh PSSI, anggota-anggotanya sangat sulit untuk
mengadakan pertandingan dengan klub luar PSSI, tetapi dengan keberhasilan VIJ
dalam menahan serangan SIVB yang diperkuat pemain NIVB pada pertandingan PSSI
tahun 1933 membuat NIVB rnenaruh hormat terhadap keperkasaan PSSI. Jika
sebelumnya NIVB berupaya menyingkirkan PSSI, berkat konsistensinya pada tujuan
semula untuk mendidik rasa kebangsaan rakyat, bekerja jujur, dan terencana
serta rela berkorban, membuahkan hasil pertandingan yang berrnutu. Maka NIVB
mengajak PSSI bekerja sama untuk mengembangkan sepak bola di Indonesia.
Tercapainya
kesepakatan antara NIVB dengan PSSI tertuang
dalam Gentlement’s Agreement
merupakan momen yang sangat bermakna bagi bangsa Indonesia. Meningkatkan kepercayaan
mereka bahwa kondisi yang seburuk apapun, sarana dan prasarana yang tak memadai
dan serba terbatas, serta tekanan destruktif Pemerintah Hindia Belanda tak
membuat surut langkah orang-orang bumiputra. Demikianlah permainan sepak bola
berhasil memainkan perannya dalam kehidupan ekonomi, sosial dan penyalur inspirasi
kaum pergerakan baik dalam usaha untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa
maupun sebagai wahana berdiskusi serta kelahiran Persatuan Sepakraga Seluruh
Indonesia merupakan titik awal perkembangan olahraga nasional.
Sumber:
Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920-1942 karya Srie Agustina Palupi