A.
Pendahuluan
Jauh
sebelum Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah memiliki lembaga-lembaga
pendidikan sendiri. Lembaga pendidikan pribumi itu adalah pondok pesantren.
Untuk memasuki pesantren tidak diperlukan persyaratan resmi dan seorang kyai
tidak pernah menolak, asalkan seorang santri sungguh-sungguh menunjukkan
hasratnya untuk belajar dan bersedia hidup dengan syarat-syarat yang sama
dengan para santri lain dalam pesantren serta melaksanakan semua kewajiban
keagamaan dan keduniawian dalam masyarakat kecil yang eksklusif. Kehidupan
dalam pesantren diatur sebagai suatu keluarga besar yang berpusat di sekitar
kyai.
Dalam
beberapa dasawarsa terakhir, oleh organisasi-organisasi Islam juga telah
didirikan madrasah, dan tingkat pendidikannya bisa disamakan dengan sekolah
dasar. Semenjak berakhirnya revolusi bersenjata sudah ada kecenderungan yang
kuat adanya sekularisasi pandangan hidup masyarakat Jawa di Yogyakarta.
Kecenderungan sekularisasi telah berkembang lebih kuat di madrasah-madrasah
dimana murid-murid menghendaki lebih banyak pelajaran sekuler untuk mengimbangi
kurikulum dalam sekolah-sekolah dasar negeri. Akan tetapi hasrat akan
pendidikan sekuler yang tumbuh dengan pesat dalam masyarakat Indonesia pada
umumnya nampaknya menarik perhatian angkatan muda dari pendidikan yang murni
agama. Pelajaran agama berangsur-angsur akan berkurang kecuali kalau
disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan sekuler yang menjadi ciri pemuda
Indonesia sejak kemerdekaan.
B. Sistem Pendidikan Hindia Belanda
Belanda membawa ke
Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang dalam banyak hal berbeda dari
lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah: (1)
Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap
agama; (2) tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis
dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana memperoleh
penghidupan; (3) diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam
masyarakat; (4) juga diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam
masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Jawa; (5) sebagian besar diarahkan
pada pembentukan kelompok elit masyarakat yang bisa dipergunakan untuk
mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan
dengan demikian benar-benar mencerminkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
C. Pendidikan di Zaman Penjajahan
Jepang
Pendidikan pada masa
pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ditandai oleh tiga prinsip pokok:
(1) pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan untuk seluruh
kelompok etnis dan kelas sosial; (2) pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis
dari sekolah-sekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan
landasan utama; (3) semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk
mengindoktrinasikan gagasan Kemakmuran Bersama Asia Tenggara dibawah pimpinan
Jepang.
D. Pendidikan di Zaman Kemerdekaan
Perubahan politik dan
sosial yang mendasar di Yogyakarta, yang dimulai pada masa pendudukan Jepang
dan berlanjut setelah pecahnya revolusi nasional, sangat membantu dalam
mengubah akan tuntutan pendidikan menjadi tuntutan umum rakyat. Sesuai dengan cita-cita demokrasi dan
kedaulatan rakyat, pemerintah nasional menetapkan kebijakan bahwa pendidikan
adalah untuk seluruh rakyat dan bukan hanya untuk golongan elit dalam
masyarakat.
Kebutuhan akan
pendidikan di pihak orang tua dan anak-anaknya meningkat selama tahun-tahun
pertumbuhan antara 1945 hingga 1950. Banyak
anak muda dalam jumlah besar membanjiri sekolah-sekolah sehingga timbul masalah
besar bagi pemerintah untuk menyediakan ruangan belajar, peralatan dan
guru-guru. Pemerintah dipaksa untuk
memuaskan tuntutan psikologis meskipun tidak sesuai dengan standar pendidikan
yang baik. Membangun sebanyak mungkin sekolah dalam waktu singkat tanpa
memperhatikan kualitas guru dan bahan-bahan untuk pengajaran.
Pada tahun 1946 berdiri
Universitas Gadjah Mada, yang diharapkan menjadi tempat para pemuda Indonesia
yang paling cerdas bisa memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk
melanjutkan revolusi demi tujuan-tujuan yang positif dan konstruktif. Sri
Sultan dengan sukarela menyediakan bagian depan dari istananya menjadi tempat
universitas baru itu.
E. Sekolah dan Masyarakat
Begitu kampanye
pendidikan tersebar ke seluruh daerah pedesaan Yogyakarta, tak ada cara lain
untuk mencegah anak-anak ke sekolah. Bersekolah sudah melembaga dalam
masyarakat pedesaan. Orang tua di daerah pedesaan pada jaman Belanda cenderung
memandang anak-anaknya sebagai suatu modal ekonomi yang harus dimanfaatkan
dalam kegiatan usaha tani, sebaliknya kini mereka menyekolahkan anaknya untuk
memperoleh keterampilan yang lebih banyak dan lebih baik di luar pertanian
sehingga mereka akan lebih siap dalam menghadapi persaingan kerja di masa
depan. Banyak orang yang belajar dengan tujuan untuk memperoleh ijazah dan
gelar yang dapat dipakai sebagai sarana untuk mendapatkan prestise sosial
SUMBER: Selo Soemardjan. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.