Mangkunegaran merupakan salah satu pusat kebudayaan
Jawa yang berkembang sebagai kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Dalam
rangka melanjutkan tradisi pendahulunya, Mangkunegaran tetap memelihara
nilai-nilai budaya Jawa warisan Mataram tersebut, tetapi juga melakukan
pembaruan sesuai dengan perkembangan zaman yang sedang berubah.
Buku
karya historiografi ini mengulas mengenai perubahan yang terjadi di Praja
Mangkunegaran sejak Mangkunegara VI hingga Mangkunegara VII. Pada periode akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20 bagi masyarakat Jawa merupakan masa yang penuh
dengan perubahan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, baik
dari dalam masyarakat maupun luar masyarakat. Faktor yang dominan mempengaruhi
terjadinya perubahan pada waktu itu adalah faktor dari luar yang dinamakan westernisasi (proses masuknya kebudayaan
Barat). Proses westernisasi ini sejalan dengan meluasnya kekuasaan Belanda pada
pemerintahan yang paling bawah yang mengubah tatanan masyarakat Jawa dalam
segala aspek.
Berkenaan dengan perubahan masyarakat Jawa sebagai
akibat dari proses westernisasi ini, Burger mengemukakan bahwa proses ini
berjalan secara evolutif. Perubahan yang begitu mencolok pada abad ke-19 dan
awal abad ke-20 merupakan kelanjutan proses-proses sebelumnya, yaitu proses
masuknya kebudayaan Barat dalam masyarakat Jawa yang kemudian menimbulkan
perubahan struktur dalam masyarakat ini.
Perembesan kebudayaan Barat kedalam masyarakat Jawa
berjalan melalui tiga fase. Fase pertama,
merupakan fase kontak antara orang-orang Belanda yang tergabung dalam Persekutuan
Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oost Indische Compagnie, disingkat VOC) dan
para raja atau sultan yang berlangsung pada abad ke-17. Pada fase ini VOC
menjalin hubungan dagang dengan para raja yang berakibat diwajibkannya para
penguasa bumiputra di tingkat puncak itu menyerahkan barang-barang dagangan
yang laku di pasaran dunia kepada VOC. Sebagai imbalannya, mereka mendapat
ganti rugi berupa uang, perhiasan, dan hadiah-hadiah lain. Dalam masa
selanjutnya, VOC tidak hanya berhenti pada hubungan dagang dengan para raja
itu, tetapi lebih mengarah pada hubungan politik, yakni mencampuri
persoalan-persoalan politik dan militer di antara para penguasa bumiputra yang
sedang berselisih, yang akhirnya mereka mendapat konsensi-konsensi untuk
menguasai daerah-daerah milik para raja itu, terutama daerah-daerah pesisir
utara Jawa telah dikuasai pada pertengahan abad ke-18.
Fase
kedua, yakni
terjalinnya kontak antara VOC dan penguasa bumiputra yang lebih rendah, yaitu
dengan para bupati. Para bupati inilah yang kemudian mendapat kewajiban untuk
menyerahkan hasil bumi kepada VOC dan tidak perlu lagi melalui para rajanya.
Dalam dua fase ini dapat dikatakan bahwa merembesnya kebudayaan Barat dalam
masyarakat Jawa sudah mulai masuk pada lapisan elite tengah masyarakat Jawa.
Fase
ketiga, adalah fase
merembesnya kebudayaan Barat sampai pada masyarakat Jawa yang kemudian membawa
dampak pada perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Fase ini terutama
berlangsung pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Hubungan antara orang-orang Belanda dan penduduk bumiputra tidak hanya melalui
perantara para kepala desa atau bekelnya.
Pada masa itu kesempatan interaksi antara penduduk bumiputra dan orang-orang
Barat yang memiliki kebudayaan berbeda semakin terbuka, baik melalui wahana
hubungan kerja, pendidikan, keagamaan, birokrasi dan administrasi, dan
sebagainya. Pendek kata, kecenderungan masuknya kebudayaan Barat dalam
masyarakat Jawa dalam abad terakhir itu lebih intensif dengan abad-abad
sebelumnya.
Pemerintahan kerajaan Jawa di Surakarta termasuk
Mangkunegaran juga dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk menanggapi zaman baru
yang telah mengalami proses modernisasi dan westernisasi itu. Menurut Ricklefs,
diantara semua kerajaan, Mangkunegaran-lah yang paling berhasil menyesuaikan
diri dengan keadaan baru pada masa kolonial itu. Ia mengatakan bahwa Mangkunegaran
merupakan satu-satunya istana yang masih memelihara tradisi militer dari
bangsawan Jawa meskipun di bawah kekuasaan Belanda.
Proses modernisasi di Mangkunegaran telah dimulai oleh
Mangkunegara IV (1857-1881). Modernisasi diutamakan dalam bidang ekonomi yang
ditandai dengan pendirian badan-badan usaha kerajaan seperti pabrik gula,
perkebunan kopi, dan sebagainya. Akan tetapi hal itu mengalami kemandekan
setelah Mangkunegara V berkuasa (1881-1896) karena terjadi krisis keuangan
Praja Mangkunegaran. Ketika Mangkunegara VI memegang pemerintahan (1896-1916),
modernisasi itu diperlukan tidak hanya dalam lapangan ekonomi, tetapi meliputi
segala bidang. Penggantinya, Mangkunegara VII (1916-1942) melanjutkan
usaha-usaha modernisasi itu hingga membuat Mangkunegaran sebagai kerajaan kecil
yang memiliki tradisi yang lain. Meminjam konsep Romein bagi dunia Eropa,
Mangkunegaran merupakan sebuah istana yang menyimpang dari pola umum
kerajaan-kerajaan tradisional. Berkaitan dengan hal itu, orang yang hidup pada
masa itu ada yang menyebutnya sebagai demokratis, sebab Mangkunegaran merupakan
satu-satunya keraton yang meniadakan hormat keraton jauh sebelum pemerintah Belanda
memulainya.
Rinkes, seorang ahli kebudayaan Jawa yang hidup pada
masa pemerintahan Mangkunegara VI dan VII menyatakan bahwa Mangkunegaran
merupakan kerajaan yang memiliki sifatnya yang khas Jawa, dalam arti menjunjung
tinggi apa yang hidup dalam hati rakyat Jawa, dan menunjukkan jalan bagaimana
dapat hidup bersama dengan kemajuan dunia tanpa kehilangan pribadi yang telah
dimilikinya. Mangkunegaran telah melakukan modernisasi dengan bertumpu pada
akar kebudayaan Jawa dimodifikasi dengan kebudayaan luar, terutama Barat.
Melalui modernisasi, Praja Mangkunegaran menjadi makin diakui (legitimate),
baik oleh rakyat, pemerintah Belanda, maupun rival politiknya Kasunanan
Surakarta. Walaupun Mangkunegaran hanyalah sebuah praja kecil, pamornya telah
menyebar ke seluruh Hindia Belanda.
Buku karya Prof. Wasino ini kaya akan arsip sejaman
baik kualitatif maupun kuantitatif yang kemudian terangkai dengan seperangkat
metodologi sejarah. Terbitnya buku ini sangat layak untuk dibaca terutama
mahasiswa dan guru sejarah, politisi, serta siapa saja yang ingin memahami sistem
pemerintahan di keraton-keraton Jawa masa lalu, sebagai bahan perbandingan
dengan tata pemerintahan Indonesia masa kini.
Sumber Buku : Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944
Pengarang
: Prof. Dr. Wasino, M.Hum
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit : Februari 2014, cetakan I
Tebal :
xii+236 halaman
by: anugerahekop
Tidak ada komentar:
Posting Komentar