Menjelang akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
kolonial yang serba terbelakang. Pejajahan serta Penindasan mengakibatkan kemunduran
segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pendidikan.
Dalam bidang politik misalnya dalam pemerintahan, samua jabatan-jabatan
penting berada di tangan bangsa asing, sedangkan bangsa Indonesia hanya menduduki
jabatan-jabatan rendah, selain itu pihak penjajah selalu mananamkan benih-benih
perpecahan dengan manjalankan politik "devide et impera".
Dalam bidang ekonomi, keadaan bangsa Indonesia sangat menderita karena
penghasilan, yang sangat rendah diterime oleh rakyat Indonesia, dengan bekerja sebagai
buruh upah pada perkebunan-perkebunan milik swasta. Rakyat dipaksa untuk
maningkatkan produksi, sedangkan dalam lingkungan ekonomi tradisional, masyarakat
Indonesia hanya mengenal perusahaan rumah atau karajinan tangan sehingga tidak ada
ketrampilan yang berkembang.
Dalam bidang pendidikan, pihak penjajah tidak memperhatikan kapentingan
Pendidikan bagi bangsa Indonesia, sehingga pada umumnya rakyat Indonesia tidak
pandai membaca dan menulis. Sedangkan kesempatan pendidikan hanya diberikan
kepada anak-anak kaum bangsawan, pegawai negeri, anak-anak orang-orang yang
berkedudukan atau berstatus sosial tinggi.
Dalam bidang budaya, kaum penjajah berhasil memasukkan nilai-nilai budaya
asing, sehingga memgakibatkan merosotnya beberapa budaya Indonesia dan hampir
kehilangan kepribadiannya.
Kesemuanya merupakan akibat langsung dari politik kolonial Belanda. Bumi
Indonesia merupakan objek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi
penjajah, sistem tanam paksa berkembang sebagai suatu usaha berskala tinggi dengan
mengidentifikasikan pemerintah sebagai pengusaha dengan NEDERLANDSCHE HANDELS SCHAPPIJ sebagai agen tunggal dan pulau Jawa merupakan sebuah
perusahaan negara yang besar.
Perkembangan salama abad 19 di berbagai bidang yang membawa akibat sangat
menyolok, yaitu dengan adanya urbanisasi. Dengan timbulnya perusahaan perkebunan,
pardagangan, pengangkutan hasil maka jumlah penduduk yang pindah ke kota dan
munculnya pusat-pusat perusahaan semakin banyak.
Dengan adanya perusahaan-perusahaanBarat maka diperlukan adanya
administrasi menurut sistem Barat. Apabila dipandang dari sudut ini maka pemerintah
bersikap dualistis. Di satu pihak pemerintah Hindia Belanda memerlukan pegawai-
pegawai pribumi yang terampil dan berpendidikan yang disesuaikan dengan sistem
pemerintahan yang modern, di samping itu pemerintah Hindia Belanda pun menambah
jumlah pegawai pamong Praja Belanda dalam rangka intensifikasi administrasi. Sistem
dualistis ini dipakai untuk mempertahankan politik eksploitasi.
Menjelang pergantian abad ke-19 samakin gencar diloncarkan kritik- kritik
terhadap pemerintah Belanda terutama yang menyangkut nasib rakyat Indonesia. Hal ini
disebabkan karena di kalangan masyarakat luas kemudian timbul kesadaran akan sikap
humanitarisme dalam hubungan kolonial yaitu memperhatikan nasib rakyat pribumi.
Program dari berbagai golongan politik semuanya dan secara serentak
menitikberatkan tanggung jawab moril dalam melaksanakan politik kolonial. Kesadaran
akan tujuan kolonial ini diperkuat oleh masalah-masalah yang timbul pada dasa warsa
terakhir abad ke-19, yaitu masalah keuangan bersama antara Indonesia dan negeri
Belanda masalah kemiskinan rakyat yang berlawanan dengan kemajuan industri
parkebunan.
Politik baru yang kemudian diperjuangkan terutama bertujuan untuk mengadakan
desentralisasi rakyat yang kemudian politik ini dikenal dengan nama politik etis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar