Selasa, 13 November 2012

POLITIK KOLONIAL MENJELANG AKHIR ABAD KE-19

Menjelang akhir abad ke-19 masyarakat Indonesia merupakan masyarakat kolonial yang serba terbelakang. Pejajahan serta Penindasan mengakibatkan kemunduran segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya maupun pendidikan. Dalam bidang politik misalnya dalam pemerintahan, samua jabatan-jabatan penting berada di tangan bangsa asing, sedangkan bangsa Indonesia hanya menduduki jabatan-jabatan rendah, selain itu pihak penjajah selalu mananamkan benih-benih perpecahan dengan manjalankan politik "devide et impera". 

Dalam bidang ekonomi, keadaan bangsa Indonesia sangat menderita karena penghasilan, yang sangat rendah diterime oleh rakyat Indonesia, dengan bekerja sebagai buruh upah pada perkebunan-perkebunan milik swasta. Rakyat dipaksa untuk maningkatkan produksi, sedangkan dalam lingkungan ekonomi tradisional, masyarakat Indonesia hanya mengenal perusahaan rumah atau karajinan tangan sehingga tidak ada ketrampilan yang berkembang. 

Dalam bidang pendidikan, pihak penjajah tidak memperhatikan kapentingan Pendidikan bagi bangsa Indonesia, sehingga pada umumnya rakyat Indonesia tidak pandai membaca dan menulis. Sedangkan kesempatan pendidikan hanya diberikan kepada anak-anak kaum bangsawan, pegawai negeri, anak-anak orang-orang yang berkedudukan atau berstatus sosial tinggi. 

Dalam bidang budaya, kaum penjajah berhasil memasukkan nilai-nilai budaya asing, sehingga memgakibatkan merosotnya beberapa budaya Indonesia dan hampir kehilangan kepribadiannya. Kesemuanya merupakan akibat langsung dari politik kolonial Belanda. Bumi Indonesia merupakan objek eksploitasi untuk diambil keuntungan sebesar-besarnya bagi penjajah, sistem tanam paksa berkembang sebagai suatu usaha berskala tinggi dengan mengidentifikasikan pemerintah sebagai pengusaha dengan NEDERLANDSCHE HANDELS SCHAPPIJ sebagai agen tunggal dan pulau Jawa merupakan sebuah perusahaan negara yang besar.

Perkembangan salama abad 19 di berbagai bidang yang membawa akibat sangat menyolok, yaitu dengan adanya urbanisasi. Dengan timbulnya perusahaan perkebunan, pardagangan, pengangkutan hasil maka jumlah penduduk yang pindah ke kota dan munculnya pusat-pusat perusahaan semakin banyak. Dengan adanya perusahaan-perusahaanBarat maka diperlukan adanya administrasi menurut sistem Barat. Apabila dipandang dari sudut ini maka pemerintah bersikap dualistis. Di satu pihak pemerintah Hindia Belanda memerlukan pegawai- pegawai pribumi yang terampil dan berpendidikan yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan yang modern, di samping itu pemerintah Hindia Belanda pun menambah jumlah pegawai pamong Praja Belanda dalam rangka intensifikasi administrasi. Sistem dualistis ini dipakai untuk mempertahankan politik eksploitasi.

Menjelang pergantian abad ke-19 samakin gencar diloncarkan kritik- kritik terhadap pemerintah Belanda terutama yang menyangkut nasib rakyat Indonesia. Hal ini disebabkan karena di kalangan masyarakat luas kemudian timbul kesadaran akan sikap humanitarisme dalam hubungan kolonial yaitu memperhatikan nasib rakyat pribumi. Program dari berbagai golongan politik semuanya dan secara serentak menitikberatkan tanggung jawab moril dalam melaksanakan politik kolonial. Kesadaran akan tujuan kolonial ini diperkuat oleh masalah-masalah yang timbul pada dasa warsa terakhir abad ke-19, yaitu masalah keuangan bersama antara Indonesia dan negeri Belanda masalah kemiskinan rakyat yang berlawanan dengan kemajuan industri parkebunan.

Politik baru yang kemudian diperjuangkan terutama bertujuan untuk mengadakan desentralisasi rakyat yang kemudian politik ini dikenal dengan nama politik etis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar